Tahun ini pemerintah Indonesia melalui kementrian agama menetapkan Hari raya idul adha jatuh pada Minggu 5 Oktober 2014, keputusan itu di tetapkan setelah melalui sidang Isbat pada tanggal 29 dzulqo`dah/24 September 2014, setelah menerima Laporan dari seluruh tim pemantau hilal yang di sebar di beberapa titik pemantauan dari sabang sampai Merauke yang ternyata tidak ada yang berhasil melihat hilal, maka melalui musyawarah yang di hadiri beberapa Ormas Islam seperti NU, PERSIS, dll, sidang isbat yang dipimpin wakil mentri agama menetapkan 1 dzulhijjah jatuh pada hari Jumat 26 september 2014.
Sementara Arab Saudi, beberapa jam kemudian menetapkan bahwa 1 dzulhijjah jatuh pada kamis 25 september 2014, Arab Saudi menetapkan berdasarkan kesaksian bahwa pada hari Rabu 24 september Hilal sudah dapat di lihat pada saat matahari terbenam sehingga otomatis 1 dzulhijjah jatuh pada hari kamis 25 september.
Dengan perbedaan pendetapan 1 dzulhijjah tersebut, maka konsekwensinya Puasa 9 dzulhijjah (puasa arofah) dan lebaran idul Adha Indonesia berbeda dengan di arab Saudi, suara sumbang dan kritik terhadap penetapan pemerintah pun nyaring dan ramai di jaga media Social, pro-kontra dan berdebatan pun terjadi di kalangan masyarakat, keputusan pemerintah di anggap aneh karena di Indonesia puasa 9 dzulhijjah (puasa arofah) jatuh pada hari Sabtu, selisih satu hari setelah jamaah haji wuquf di padang arofah, muslimin Indonesia di anggap aneh karena melakukan puasa arofah tidak bersamaan dengan jamaah haji wuquf di arofah.
Daripada debat kusir yang berujung saling mencaci dan menyesatkan, sebaik
nya marilah kita kaji dan bedah sampai tuntas metode penentuan 1 dzulhijjah dan
waktu puasa dan wuquf. Untuk membedahnya, bisa kita rumuskan dalam beberapa
pertnyaan berikut :
1. Bagaimana cara menentukan 1 dzulhijjah ?
2. Kapan waktu nya puasa arofah ?
3. Kapan waktunya wuquf ?
4. Haruskah puasa arofah bersamaan dengan jamaah haji yang wuquf ?
1. CARA PENENTUAN AWAL DZULHIJJAH SAMA DENGAN PENENTUAN AWAL RAMADAN DAN
SYAWWAL, YAITU BERDASARKAN RUKYATUL HILAL YANG BERSIFAT LOKAL-NASIONAL (BUKAN
INTERNASIONAL)
(يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ
بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ
وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ)
[Surat Al-Baqara : 189]
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa.
Ayat-ayat diatas jadi dalil bahwa penentuan awal bulan
Dzulhijjah sama dengan bulan Ramadan dan Syawwal, yaitu berpedoman pada
Rukyatul Hilal, ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa "penentuan awal tanggal dzulhijjah beda dengan Penentuan puasa Ramadan karena puasa dzulhijjah harus ikut ke makkah"
Adapun dalil tentang Rukyat berlaku Lokal ini hadis Kuraib
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ اَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ
كُرَيْبٍ: اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ
باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا
وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ
لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ
فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ
الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ
الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ
وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ
فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ:
اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا
اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
“Dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib,
bahwa Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam.
Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul fadl. Dan
terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku
melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan
Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia
berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya:
“Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga
melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi
kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami
sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak
cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah
Rasulullah SAW menyuruh kami,” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil di atas maka rukyatul hilal
atau observasi bulan sabit untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah
berlaku rukyat nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri.
2. WAKTU PUASA AROFAH ADALAH TANGGAL 9 DZULHIJJAH, NABI BAHKAN SUDAH MELAKUKAN
PUASA AROFAH SEBELUM NABI DAN PARA SAHABAT BERHAJI DAN WUQUF DAN SAAT ITU BELUM
ADA JAMAAH HAJI BERWUQUF DI AROFAH
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَأَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيْسَ
3. WAKTUNYA WUQUF ADALAH TANGGAL 9 DZULHIJJAH, MENURUT
MAZHAB SYAFII, PUASA AROFAH DI SUNNAHKAN BAGI MUSLIMIN YANG TIDAK BERHAJI,
SEMENTARA JAMAAH HAJI DI SUNNAHKAN IFTHOR (TIDAK PUASA)
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لاَ أَصُوْمُهُ، وَلاَ آمُرُ بِصِيَامِهِنَّ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ
'Aku haji bersama Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, dan beliau tidak puasa Arafah, bersama Abu Bakar dan beliau juga tidak puasa Arafah, bersama Umar dan beliau juga tidak puasa Arafah dan bersama Utsman dan beliau juga tidak puasa hari Arafah. Sedangkan saya juga tidak puasa dan tidak menyuruh berpuasa serta tidak melarangnya.'" [Sanadnya shahih dan telah ditakhrij sebelumnya.]
2. Ubaid bin Umair berkata,
طَافَ عُمَرُ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي مَنَازِلِ الْحَاجِّ حَتَّى أَدَّاهُ الْحَرُّ إِلىَ خَبَاءِ قَوْمٍ فَسُقِيَ سَوِيْقًا فَشَرِبَ
3. Said bin Jubair berkata,
أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّانًا بِعَرَفَةَ فَحَدَثَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ
4. Puasa Arofah tidak harus Berbarengan Dengan Pelaksnaan
Wuquf Di Arofah, Puasa arofah di amalkan nabi sejak nabi sebelum melakukan
ibadah haji, jadi kesunatan puasa arofah bukan karena bersamaan wuquf haji,
tapi puasa 9 dzulhijjah sudah di amalkan nabi sebelum nabi melakasanakan haji
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَأَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيْسَ
Syaikh Ibnu Utsaimin (ulama Wahabi) mengemukan
dalam fatwanya:
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا
كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل
مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم
لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو
الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو
القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا
رأيتموه فأفطروا(
“Dan yang benar itu dalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal
terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah,
posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan
puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di
Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa
dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan berbukalah” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Utsaimin)
Dari berbagai dalildan argumen di Atas dapat di simpulkan bahwa :
1. Penentuan awal dzulhijjah sama dengan penentuan awal
Ramadan dan Syawal, yaitu pakai Rukyatul hilal, jika tidak bisa meihat hilal
maka bulan di genpkan jadi 30 hari, rukyatul hilal berlaku Lokal-nasional hanya
di daerah yang satu Matla`
2. Waktu nya puasa arofah adalah 9 dzulhijjah, jadi
kesunnahan puasa arofah adalah karena 9 dzulhijjah nya, bukan karena ada jamaah
haji yang wuquf
3. Puasa arofah tidak harus bersamaan dengan pelaksanaan
wuquf, kesunnahan puasa arofah adalah pada 9 dzulhijjah nya, jika di indonesia penentuan 1 dzulhijjah nya tidak bisa melihat hilal maka tanggal 9 nya beda dengan daerah yg berhasil melihat hilal, otomatis puasa arofah nya tidak bersamaan karena puasa arofah itu waktunya pada tanggal 9 dzulhijjah.
karena muslimin sekarang sudah menyebar di
seluruh penjuru dunia yang
beda matla` maka
waktu ibadah nya mengikuti ketentuan waktu di
daerah masing masing.
Contoh simpel antara
Indonesia-amerika selisih nya 12 jam, perbedaan
terbit matahari
dan bulan (matla`) terpaut sangat
jauh yang itu berarti waktu solat lima waktu yang
mengacu pada rotasi matahari harus berpedoman
pada darerah masing-masing, dan sangat tidak
di benarkan kita ikut jam daerah lain apalagi negara
lain yang beda matla’. Begitu juga pada penentuan
waktu yang mengacu pada rotasi bulan seperti
penentuan awal bulan Qomariyah.
demikian
sedikit analisa sederhana dari saya, tentu
saya tidak menutup mata
bahwa ada khilaf ulama
mengenai metode Rukyah/Hisab, mengenai
Wihdatul Matla'/ikhtilafu matla' termasuk mengenai
Rukyat berlaku Lokal atau
berlaku Global, tulisan ini
sekedar menjawab tudingan bahwa yang puasa
arofah tidak bersamaan dengan Wuquf samdengan
puasa ngawur.